Meski sanadnya dinilai lemah, namun ada beberapa dalil yang bisa dikemukakan tentang keutamaan salam Idul Fitri terkait dengan sedekah ini.
Argumen kedua adalah dalil umum untuk bersyukur ketika kita menerima nikmat atau terhindar dari bahaya, seperti yang ditentukan oleh ibadah.
Mirip dengan kisah al-Bukhari dan Muslim tentang tobat Ka’ab bin Malik saat jauh dari Pertempuran Tabuk, Thalhah bin Ubaidillah mengucapkan selamat kepadanya segera setelah ia mendengar bahwa tobatnya telah diterima.
Salam itu diberikan di hadapan Nabi dan beliau tidak mengingkarinya. Tidak ada aturan baku untuk mengubah sapaan ini.
Salah satu contohnya adalah “taqabbala allâhu minnâ wa minkum”, “kullu ‘âmin wa antum bi khair”, “selamat hari raya idul fitri”, “minal aidin wa al-faizin”, “maafkan aku lahir dan batin”.
Prinsipnya, setiap kata yang biasa digunakan sebagai sapaan saat hari raya sudah bisa menerima sunnah yang menggembirakan ini.
Bahkan, Syekh Ali Sybramalisi menegaskan ucapan selamat juga bisa dilakukan dalam bentuk tepuk tangan.
Oleh karena itu, sangat tidak tepat di beberapa kalangan untuk mengatakan bahwa hari raya gembira yang berkembang di Indonesia tidak berlandaskan agama.(*)