Menurut pakar komunikasi Leah Mether, banyak pemimpin yang bermaksud tampil strong, assertive, and direct, tetapi justru dipersepsikan closed-minded, aggressive, dan blunt. Hal ini menunjukkan adanya garis tipis antara lugas yang inspiratif dan lugas yang kontraproduktif. Hal serupa ditegaskan dalam artikel Bold vs. Blunt: The Nuances of Leadership Communication, yang menyebut pemimpin harus bisa membedakan antara “berani menyampaikan pesan” dengan “kasar dalam penyampaian”.
Riset dari Booher Research juga mengingatkan bahwa komunikasi yang efektif tetap membutuhkan konteks dan empati. Pesan yang disampaikan dengan data kuat dan bahasa yang tepat akan lebih membangun kepercayaan dibandingkan gaya yang sekadar blak-blakan tanpa mempertimbangkan audiens.

Dalam perspektif lokal, pengamat komunikasi di RRI menyebut pemimpin ideal adalah mereka yang “tegas sekaligus solutif, namun tetap mengedepankan empati”. Dengan demikian, gaya komunikasi cowboy Menkeu Purbaya dapat dipandang efektif selama ia menjaga keseimbangan: tetap lugas, transparan, dan berbasis data, namun tetap memperhatikan sensitivitas publik.
Menurut program Effective Communication Skills dari Proxsis HR, komunikasi yang efektif tidak hanya soal berbicara dengan jelas, tetapi juga mencakup kemampuan menganalisis kebutuhan lawan bicara, mendengarkan aktif, dan menyampaikan pesan dengan penuh percaya diri.
Pelatihan ini menekankan beberapa poin penting:
- Menganalisis kebutuhan audiens agar interaksi lebih tepat sasaran.
- Mengatasi hambatan komunikasi dengan teknik mendengar dan body language yang tepat.
- Membangun kredibilitas melalui sikap profesional dan penampilan yang mendukung.
- Menggunakan bahasa persuasif untuk mendapatkan perhatian penuh audiens.
Dengan keterampilan ini, seorang pemimpin dapat menjaga transparansi tanpa kehilangan empati, menegaskan pesan tanpa terjebak blunt, dan memastikan komunikasi menjadi jembatan efektif antara kebijakan dan public.