Ketika perusahaan menuntut upaya 150% namun hanya memberikan apresiasi dan kompensasi 100%—atau lebih buruk, job desk yang berlebihan dan minim support—Gen Z memilih menarik batas. Mereka menolak untuk “hidup untuk bekerja,” sebaliknya memilih “bekerja untuk hidup.”
Perusahaan Gagal dalam Menjual Loyalitas Perusahaan seringkali lupa bahwa loyalitas adalah jalan dua arah. Jika karyawan melakukan lebih dari yang dituntut (overperform), mereka berharap adanya pengakuan yang setimpal, baik berupa kenaikan gaji, promosi yang jelas, atau lingkungan kerja yang suportif.
Faktor pemicu utama quiet quitting adalah:
– Burnout dan Beban Kerja Berlebihan: Karyawan merasa lelah secara emosional dan fisik akibat tuntutan kerja yang terus-menerus melampaui kapasitas.
– Minimnya Apresiasi: Upaya ekstra tidak diakui atau tidak berujung pada reward yang nyata, menciptakan rasa sinisme terhadap organisasi.
– Ketidakjelasan Jenjang Karier: Rasa putus asa muncul ketika mereka menyadari bahwa bekerja keras tidak menjamin progres yang signifikan.
Bagi Gen Z, jika perusahaan tidak bisa menghargai 150% upaya mereka, mereka akan kembali ke 100% (sesuai kontrak) demi melindungi 50% energi mereka untuk diri sendiri. Itu bukan kemalasan; itu adalah manajemen energi yang cerdas.
Arah Baru: Perlunya Budaya Kerja yang Humanis
Alih-alih menyalahkan generasi muda, perusahaan perlu bercermin. Fenomena quiet quitting adalah sinyal kuat bahwa model kerja toxic sudah tidak relevan dan berbahaya. Melihat kasus dan bagaimana strategi negara lain akan hal ini, misalnya Amerika.